Komitmen Elite Politik Diperlukan untuk Atasi Politisasi Identitas Jelang Pemilu 2024

Komitmen Elite Politik Diperlukan untuk Atasi Politisasi Identitas Jelang Pemilu 2024

Xukai – Diperlukan komitmen elit dan aktor politik untuk menciptakan budaya politik yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi agar Pemilu 2024 bermuara pada proses kualitatif konsolidasi demokrasi dan pemilu.

Pemilu 2024 tidak boleh mengulang kesalahan yang sama dengan menjadikan agama sebagai komoditas politik. Sudah saatnya Indonesia menerapkan budaya politik yang beradab.

Untuk itu, dibutuhkan komitmen para elit dan aktor politik untuk menciptakan budaya politik yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian, Pemilu 2024 dapat menghasilkan proses konsolidasi demokrasi dan pemilu secara kualitatif.

Politisasi identitas bisa menjadi hal yang seru dalam kampanye pemilu, kata peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, Citi Zorro. Namun efeknya sangat merugikan dan membahayakan karena dapat mengancam keutuhan NKRI. Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilkada serentak 2019 menjadi bukti nyata kegemaran elit politik atau tim sukses menggunakan isu agama untuk mengobarkan demokrasi.

Menurut Seti, Indonesia kurang beruntung karena terlalu lama bergelut dengan demokrasi prosedural. Peninggalan nilai-nilai kuno tidak dapat dipisahkan, sehingga menciptakan sistem campuran, yaitu sistem turun-temurun dan sistem demokrasi, yang hidup berdampingan. Tahapan pemilu berlalu tanpa memperhatikan esensi, sehingga sulit memajukan demokrasi.

Pemimpin yang dihasilkan seringkali bermasalah karena tidak memahami inti permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia dan apa yang dibutuhkan rakyat. Sayangnya, demokrasi prosedural telah menghasilkan penguasa transaksional. Dalam diskusi bertajuk “Problematika Politik Identitas Jelang Pemilu 2024” secara daring dan luring, Rabu (17/5/2023), Objective Democracy hanyalah mimpi karena yang muncul adalah kepemimpinan transaksional.

Karena itu, kata Seti, penguatan demokrasi menjadi kebutuhan mendesak saat ini karena seluruh elemen bangsa perlu bersama-sama memperjuangkan pemilu yang baik. Melalui pemilu yang baik harapannya adalah melahirkan pemimpin yang mampu menjadi teladan dalam memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, dapat menciptakan pemerintahan yang baik dan pemimpin yang mampu menciptakan pemerintahan yang efektif dan melaksanakan program untuk kepentingan rakyat.

Sistem demokrasi harus ditopang oleh pilar kualitas, literasi politik atau budaya politik yang memadai, dan kematangan berdemokrasi. Membangun sistem itu sangat penting. Namun, peran pemimpin sebenarnya relatif lebih dominan dan menentukan.”

Sementara itu, pengamat politik Rocky Gerong berpendapat bahwa setiap orang ingin mengidentifikasi diri dengan pemimpinnya. Hal ini terjadi secara vertikal karena orang Jawa cenderung memilih bahasa Jawa. Muslim cenderung memilih Muslim. Namun, itu bisa diatasi ketika dua nilai ditempatkan berdampingan. Media memiliki peran penting dalam mengungkap identitas ini.

Dia mencontohkan, misalnya politisi yang melakukan korupsi tapi orang Jawa atau politikus muslim tapi tidak paham seks. Bahkan, seseorang akan memilih dengan identitas budaya yang sama. Namun, karena dia anti korupsi, dia tidak akan memilih orang Jawa yang korup. Akan menyampaikan opsi masuk akal lainnya.

“Harus disosialisasikan agar tidak terjadi disrupsi. Semua parpol harus memiliki kurikulum intelektual demokrasi. Yang terjadi, saat ini kita gagal memberikan pemahaman demokrasi yang wajar, sehingga tidak ada pembahasan tentang konsep demokrasi,” ujarnya. dikatakan.

Pendekatan hukum dan budaya

Wakil Ketua Gerakan Revolusi Rakyat, Ahmad Basara, mengatakan, berdasarkan sejarah, Indonesia lahir sebagai sebuah bangsa karena politik terbelah oleh kolonialisme Belanda. Saat itu Belanda mengetahui kelemahan bangsa Indonesia yang multi bangsa. Pemuda Indonesia saat itu menjadi bagian dari pergerakan nasional Indonesia, antara lain Ittihad Islami, Jung Minahasa, dan Jung Batak, dan menemukan jawaban bahwa melawan kebijakan mengadu domba adalah kebijakan persatuan.

Ahmad berkata: Dia mengatasi politisasi identitas dengan pendekatan hukum dan budaya. Pendekatan hukum seperti undang-undang partai politik yang membutuhkan penguatan persatuan bangsa. Ada juga Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tentang pelarangan penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan terhadap individu atau kelompok orang atas dasar ras, agama, suku, dan golongan (SARA).

Baca Juga: Surya Paloh Bicara Tentang Campur Tangan Setelah Johnny Plate Jadi Tersangka

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

0 Comments
scroll to top